ABSTRAK
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pembagian harta gono gini
atau harta bersama setelah terjadi perceraian
dan seberapa pentingnya perjanjian perkawinan terhadap harta gono-gini atau
harta bersama. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif
disimpulkan :
1. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama atau harta gono-gini diatur menurut hukumnya masing-masing. Tentang besaran bagian masing-masing suami/isteri atas harta bersama jika terjadi perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur.
2. Pentingnya perjanjian perkawinan dibuat agar supaya membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut undang-undang perkawinan. Artinya kebersamaan harta benda suami isteri itu sifatnya terbatas, yaitu hanya berkenaan dengan harta gono-gini saja. Atau perjanjian perkawinan juga dapat disebutkan bahwa tidak ada arta bersama sama sekali, melainkan harta suami tetap menjadi hartanya dan harta isteri juga tetap menjadi hartanya sendiri. Ketika akan dibagi, harta keduanya dipisahkan, dengan kata lain, tidak ada harta gono-gini sama sekali.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan wanita, yang saling mencintai dan menyayangi. Sudah menjadi kebutuhan hidup mendasar, bila setiap insan akan menikah. Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah sekali seumur hidupnya saja. Tidak berniat terbesit bila di kemudian hari harus bercerai, lalu menikah lagi dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri.
Namun pada kenyataannya justru bukan demikian. Tidak sedikit pasangan suami-istri, yang akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan hidup, paling tidak menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian. Memilih bercerai, berarti harus berhadapan dengan pengadilan. Sebab proses pengaduan gugatan perceraian yang sah menurut hukum, hanya dapat ditempuh melalui pengadilan saja. Persoalannya kemudian adalah banyak pasangan suami-isteri yang justru bingung sekaligus kesulitan, saat menempuh jalan proses Perceraian tersebut. Faktor utamanya tentu soal hukum. Ditambah lagi proses pengajuan gugatan perceraian, yang memang pada dasarnya berbelit-belit. Bahkan tidak jarang, bila proses perceraian yang rumit menguras banyak dana.
Dalam
mengajukan gugatan perceraian, alasan memilih bercerai menjadi pertimbangan penting
bagi pengadilan untuk menindaklanjuti gugatan cerai tersebut. Karena itu
penggugat harus memilih alasan bercerai yang dibenarkan dan sah menurut hukum.
Di lain sisi, alasan bercerai juga menjadi pertimbangan atau tolak ukur bagi
pengadilan dalam memutuskan sejumlah persoalan lain yang terkait erat dengan
proses perceraian itu sendiri. Misalnya pembuatan hak asuh anak, kebutuhan perkembangan
mental anak, tuntutan permohonan nafkah,
serta persengketaan harta gono-gini. Semuanya merupakan satu kesatuan proses
hukum yang harus dijalani secara utuh. Serta membutuhkan strategi, demi menghindarkan
kesalahan dalam mengambil langkah dan keputusan. Kecerobohan yang berangkat
dari ketidaktahuan soal proses hukum, serta ketiadaan strategi dalam melakukan
proses gugatan cerai, akan berpotensi menimbulkan kerugian fisik, mental maupun
finansial. Perbincangan keputusan harta gono-gini tabu di mata masyarakat. rupanya
masyarakat masih memandang sebelah mata masalah ini. Pasangan suami isteri
biasanya baru mempersoalkan pembagian harta gono-gini setelah adanya putusan
perceraian dari pengadilan. Bahkan dalam setiap proses pengadilan sering
terjadi keributan tentang pembagian harta gono-gini sehingga kondisi itu semakin
memperumit proses perceraian di antara mereka karena masing-masing mengklaim
bahwa harta “ini dan itu” merupakan bagian atau haknya. Sengketa harta gono-gini
ini tidak dipikirkan oleh para calon pengantin yang akan menikah. Mereka hanya berpikir
bahwa menikah itu untuk selamanya. Artinya, tidak berpikir sedikit pun oleh
mereka bahwa suatu saat nanti perceraian itu mungkin saja terjadi. Mereka baru
berpikir tentang harta gono-gini pada saat proses atau setelah terjadinya
perceraian.
Untuk itulah perbincangan mengenai harta gono-gini ini perlu diangkat dalam wacana publik. Masyarakat memerlukan pengetahuan yang memadai tentang masalah ini yang justru akan membuka cakrawala pengetahuan kita, bahwa harta gono-gini itu perlu diketahui sejak awal perkawinan sepasang calon penganti. Persoalan mengenai harta gono-gini ini sering menjadi isu hangat di masyarakat kita. Yang pada akhirnya menyita perhatian media, terutama pemberitaan perceraian di antara sejumlah artis sampai pada perselisihan tentang pembagian harta gono-gini. Kasuskasus perceraian mengenai pembagian harta gono-gini di kalangan artis atau pejabat sering di-blow up oleh media masa.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah
pembagian harta gono-gini atau harta bersama setelah terjadi perceraian?
2.
Seberapa
pentingnya perjanjian perkawinan terhadap harta gono-gini atau harta bersama?
C. METODE PENELITIAN
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian harta gono-gini atau harta bersama setelah perceraian.
PEMBAHASAN
A. Pembagian Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama Setelah Perceraian
Harta gono-gini adalah harta benda
yang dihasilkan oleh suami istri selama masa
perkawinan mereka. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah setelah tahun 1974 diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Harta gono-gini menjadi milik bersama suami istri itu, walaupun yang bekerja hanya suai atau istri saja. Tentang sejak kapan terbentuknya harta gono-gini, ditentukan menurut rasa keadilan masingmasing pihak, namun secara umum ditentukan menurut kewajaran, bukan waktu.
Pembagian harta gono-gini bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana hak isteri.
Menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati
menjelaskan bahwa cara mendapatkan harta
bersama, sebagai berikut
:
a. Pembagian harta bersama dapat diajukan
bersamaan dengan saat mengajukan gugat
cerai
dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh
selama perkawinan dalam “Potista” (Alasan mengajukan gugatan).
Permintaan
pembagian harta disebutkan dalam petitum (gugatan).
b.
Pembagian
harta bersama diajukan setelah adanya putusan perceraian, artinya mengajukan gugatan
atas harta bersama.
Bagi yang
beragama Islam gugatan atas harta bersama diajukan ke pengadilan agama di
wilayah tempat tinggal isteri. Untuk non-Islam gugatan pembagian harta bersama
diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal termohon.
Harta bersama baru dapat dibagi bila putusnya
hubungan perkawinan karena kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak
saat kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh
dibagi. Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum
mempunyai kekuatan pasti, maka harta bersama antara suami dan isteri itu belum dapat
dibagi.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI tertanggal 9 Oktober 1968 Nomor 89K/Sip/19689 , selama seorang janda tidak kawin
lagi dan selama hidupnya harta bersama dipegang olehnya tidak dapat dibagi guna
menjamin penghidupannya. Dalam Pasal 156 Komplikasi Hukum Islam putusnya
perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta bersama
tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 97 yang
memuat ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam Pasal 97 dan selaras dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu cara pembagiannya biasanya adalah dengan membagi rata, masing-masing (suami-isteri) mendapat setengah bagian dari harta gono-gini tersebut. Harta bersama ini tidak dapat
disamakan dengan harta warisan, karena
harta warisan adalah harta bawaan, bukanlah harta bersama. Oleh sebab itu,
harta warisan tidak dapat dibagi dalam pembagian harta gono-gini sebagai akibat
perceraian. Hal inilah yang menjadi pegangan pengadilan agama dalam memutus
pembagian harta gono-gini tersebut.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, kewenangan mengadili sengketa harta bersama bagi
orang yang beragama Islam mulanya merupakan sesuatu hal yang dipermasalahkan.
Hal ini disebabkan karena Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang tersebut tidak
menunjuk secara tegas bahwa sengketa harta bersama bagi orang yang beragama
islma diselesaikan melalui peradilan agama.
Walaupun sebenarnya telah memberi sinyal kewenangan kepada peradilan agama untuk menyelesaikannya. Hal ini terlihat pada Pasal 37 tersebut : “Bila Perkawinan terputus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Pasal ini seharusnya ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga apabila orang yang bersengketa itu beragama Kristen maka diselesaikan menurut hukum mereka, begitu pula jika yang bersengketa itu beragama Islam, maka diselesaikan menurut hukum Islam. Tetapi, oleh karena sengketa harta bersama masih dianggap termasuk dalam lembaga hukum adat, maka kewenangan itu tetap berada di pengadilan negeri, sekalipun yang bersengketa itu orang beragama Islam. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada 29 Desember 1989, melalui Pasal 49 dan penjelasan Ayat (2) angka (10) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah penyelesaian “harta bersama”.
Undang-Undang tentang Peradilan Agama tersebut
tidak memformulasi harta bersama
secara spesifik, oleh karena itu untuk formula harta bersama harus dilihat ketentuan Pasal, 35, 36, dan 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa yang termasuk harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
Ketentuan mengenai pembagian dan besar
porsi perolehan masing-masing suami isteri dari harta bersama apabila terjadi
perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, atau suami isteri hilang, kita
jumpai di dalam ketentuan Pasal 96 dan Pasal 97 Komplikasi Hukum Islam. Pasal
96 berbunyi: “1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan hidup lebih lama; 2). pembagian harta bersama bagi seorang suami
atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar Putusan
Pengadilan Agama
Pasal
97 berbunyi : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Pasal-Pasal di atas menegaskan bahwa pembagian harta bersama antara suami dan
isteri yang cerai hidup maupun cerai mati, atau karena salah satunya hilang,
masing-masing mereka mendapat seperdua atau setengah harta bersama. Tidak
diperhitungkan siapa yang bekerja, dan atas nama siapa harta bersama itu
terdaftar. Selama harta benda itu diperoleh selama dalam masa perkawinan sesuai
dengan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan, maka harta yang
diperoleh tersebut merupakan harta bersama, dan dibagi dua antara suami dan
isteri.
Ketentuan Pasal-Pasal di atas telah
menggeser secara tegas ketentuan pembagian harta bersama yang berlaku pada
masyarakat adat di Indonesia seperti pada masyarakat adat Aceh dan masyarakat
ada di Jawa tersebut di atas. Mahkamah Agung telah mendukung ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Komplikasi Hukum Islam tentang pembagian
harta bersama serta besaran perolehan masing-masing suami-isteri dengan
putusan-putusannya.
Jika salah satu meninggal terlebih
dahulu lazimnya harta gono-gini berada di bawah penguasaan dan pengelolaan
salah satu yang hidup, sebagaimana halnya saat masa perkawinan. Pihak yang
masih hidup berhak menggunakan harta milik bersama itu untuk keperluan hidupnya
serta anak-anak yang masih kecil, tetapi jika keperluan hidupnya sudah cukup
diambilkan harta bersama itu, maka sebagian lain selayaknya almarhum setelah
dikurangi hutang-hutang.14 Jika ada anak, maka harta bersama itu diwariskan kepada
anak sebagai harta asal mereka. Jika yang meninggal terlebih dahulu itu suami,
maka selama janda belum kawin lagi, barang-barang harta gono-gini yang
tertinggal padanya itu tetap tidak dibagi-bagi, guna menjamin kehidupannya
demikianlah putusan Mahkamah Agung Reg. No. 189 K/Sio./1959, tanggal 8 Juli 1959
yang mengatakan bahwa selama janda belum kawin lagi, harta bersama tetap
dikuasai janda guna keperluan hidupnya. Sedangkan jika tidak ada anak, maka
sesudah yang hidup lebih lama lagi tadi itu (janda atau duda), maka harta
tersebut wajib secara hukum dibagikan kepada kerabat suami dan isteri dengan
jumlah yang sama besar sebesar bagian suami isteri itu jika mereka masih hidup,
atau jika pantas maka yang sudah berkecukupan mengalah dan diberikan kepada
yang berkekurangan berdasarkan asas kepantasan dan kelayakan.
Pembagian harta gono-gini ini tidak
dapat digugat oleh sembagarang ahli waris apalagi orang lain. Menurut putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 258 K/Sip./1959, tanggal 8 Agustus 1959 bahwa pembagian
gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain dari pada anak atau isteri atau
suami dari yang meninggalkan gonogini. Dalam Undang-Undang Perkawinan, pengaturan
harta bersama tersebut belum memperoleh penyelesaian yang tuntas. Pasal 37
menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud rumusan “hukumnya
masing-masing: adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
B. Pentingnya
Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama
Perjanjian perkawinan diperlukan untuk
mempermudah dalam memisahkan mana yang merupakan harta bersama dan mana yang bukan
agar jika terjadi perceraian, pembagian harta gono-gininya dapat dengan mudah diselesaikan.
Dengan jalan ini, perselisihan antar mantan suami isteri yang bercerai tidak perlu
berkepanjangan. Apalagi mereka harus memecahkan persoalan-persoalan lain yang berkenaan
dengan pemutusan hubungan perkawinan mereka. Untuk itulah, perjanjian perkawinan
tetap penting dan bermanfaat bagi siapa saja, tidak memandang harta, jabatan, atau
kekuasaan.
Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi
secara hukum harta bawaan masing-masing pihak suami isteri. Artinya perkawinan
dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah rumah
tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena perceraian maupun kematian. Dengan
adanya perjanjian perkawinan, maka akan jelas dibedakan mana yang merupakan harta
gono-gini yang perlu dibagi dua secara merata.
Perjanjian perkawinan juga berguna
untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi keluarga. Jika suatu saat terjadi
penyitaan terhadap seluruh aset keluarga karena bisnis
bangkrut, dengan adanya perjanjian Perkawinan “sekoci” ekonomi keluarga akan bisa aman. Ketika hendak membuat perjanjian perkawinan, pasangan calon pengantin biasanya memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya membentuk sebuah rumah tangga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin perjanjian. Tujuannya, tidak lain agar kepentingan mereka tetap terjaga. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kaum perempuan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan keadilan kaum perempuan (isteri) dapat terlindungi. Perjanjian perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli harta gono-gini dan harta kekayaan pribadi isterinya. Disamping itu, dari sudut pemberdayaan perempuan, perjanjian tersebut bisa menjadi alat perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perjanjian perkawinan memang tidak diharuskan.
Hanya banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga diserta
adanya perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Pemikiran tentang perlu atau
tidaknya perjanjian perkawinan itu biasanya didasarkan atas kesepakatan antara
calon suami dan calon isteri yang akan berumah tangga. Jika salah satu dari
mereka tidak setuju, hal itu tidak bisa dipaksakan. Disebabkan sifatnya yang
tidak wajib, tidak adanya perjanjian perkawinan tidak lantas menggugurkan
status perkawinan mereka. Perbuatan perjanjian perkawinan lebih didorong karena
adanya kemungkinan hak-hak dari pihak yang terganggu jika perkawinan mereka
dilangsungkan.
Perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) biasanya berupa perjanjian antara calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan dengan ketentuan mereka sepakat untuk mengadakan perjanjian pisah harta, yaitu harta yang mereka miliki bukan harta gono-gini, namun menjadi harta pribadi masing-masing. Meskipun demikian, isi perjanjian itu sesungguhnya tidak hanya memuat ketentuan itu.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku
dalam hukum positif misalnya KUHPerdata, kedua calon suami isteri diberikan
kebebasan untuk menentukan isi perjanjian perkawinan asalkan sesuai dengan
kehendak dan kepentingan mereka, dan juga tidak bertentangan dengan tata
susila, tata hukum, tata agama, dan tata tertib masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa isi perjanjian perkawinan adalah beragam.
1.
Pemisahan
harta kekayaan murni
Kedua belah pihak bersepakat untuk memisahkan segala macam harta, utang, dan penghasilan yang mereka peroleh, baik sebelum perkawinan maupun sesudahya. Jika terjadi perceraian di antara mereka, tidak ada lagi pembagian harta gono-gini karena mereka telah memperjanjikan pemisahan harta, utang, dan penghasilan mereka selama masa perkawinan. Dalam model ini, biaya pendidikan dan kebutuhan anak menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga. Jika perjanjian perkawinan mengatur tentang pemisahan harta gono-gini, seorang suami tetap berkewajiban menafkahi isteri dan anak-anaknya, meskipun dalam perjanjian perkawinan telah ditetapkan pemisahan hartanya dengan harta isterinya.
2.
Pemisahan
harta bawaan
Bedanya dengan yang diatas, dalam isi perjanjian
ini kedua belah pihak hanya saling memperjanjikan macam harta bawaan saja, yaitu
harta, utang, dan penghasilan yang mereka dapat sebelum perkawinan. Artinya
jika nantinya mereka bercerai, yang dibagi adalah harta gono-gini saja, yaitu
harta yang dihasilkan selama perkawinan menjadi hak masing-masing pasangan.
3. Persatuan harta kekayaan
Perjanjian perkawinan juga bisa memuat
ketentuan tentang percampuran harta kekayaan menurut ketantuan Pasal 49 Ayat
(1) Komplikasi Hukum Islam, pasangan calon suami isteri dapat memperjanjikan
percampuran harta kekayaan mereka, baik yang mencakup harta gono-gini, harta
bawaan, harta perolehan. Meskipun demikian, perjanjian perkawinan tentang
percampuran harta kekayaan juga bisa mencakup harta gono-gini saja, tidak
mencakup dua macam harta lainnya.
Suami isteri dapat memperjanjikan ketentuan bahwa meskipun mereka telah memberlakukan persatuan kekayaan, namun tanpa persetujuan isteri, suami tidak dapat memindahtangankan atau membebani barangbarang tidak bergerak milik isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum, surat berharga lainnya, dan piutang-piutang atas nama isteri. Isi perjanjian perkawinan sebenarnya tidak hanya berupa ketentuan tentang pemisahan atau persatuan harta kekayaan pasangan suami isteri, tetapi juga berisi hal-hal lain di luar masalah harta benda perkawinan. Perjanjian perkawinan juga dapat mencantumkan poinpoin lain di luar masalah harta benda, asalkan isinya dapat disepakati oleh masing-masing pasangan calon pengantin. Perjanjian perkawinan itu bisa mencakup persoalan poligami, mahar, perceraian, dan kesempatan isteri untuk menempuh pendidikan lebih lanjut. Atau isinya juga bisa perihal larangan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti yang pernah dilakukan artis Rieke Diah Pitaloka dengan suaminya. Dengan demikian perjanjian perkawinan tidak semata-mata persoalan mengatur harta suami isteri.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Apabila
perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama atau harta
gono-gini diatur menurut hukumnya
masing-masing. Tentang besaran bagian masing-masing suami/isteri atas harta
bersama jika terjadi perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur.
2. Pentingnya
perjanjian perkawinan dibuat agar supaya membatasi atau meniadakan sama sekali
kebersamaan harta kekayaan menurut undang-undang perkawinan. Artinya
bebersamaan harta benda suami isteri itu sifatnya terbatas, yaitu hanya
berkenaan dengan harta gono-gini saja. Atau perjanjian perkawinan juga dapat
disebutkan bahwa tidak ada harta bersama sama sekali, melainkan harta suami
tetap menjadi hartanya dan harta isteri juga tetap menjadi hartanya sendiri.
Ketika akan dibagi, harta keduanya dipisahkan, engan kata lain, tidak ada harta
gono-gini sama sekali.
B. SARAN
1. Sebaiknya
Pemerintah harus merevisi Undang-Undang Perkawinan yang ada di Indonesia,
terutama terhadap Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
agar supaya terdapat kepastian hukum dan kejelasan mengenai pembagian harta
gono-gini, agar tidak terdapat tumpang tindih di dalamnya.
2.
Perlu
disosialisasikan lebih lanjut kepada masyarakat mengenai pentingnya perjanjian
perkawinan diadakan atau dibuat sebelum kedua calon pasangan suami isteri, agar
supaya dikemudian hari dapat mengantisipasi jika terjadi permasalahan mengenai
pembagian harta gono-gini.
DAFTAR
PUSTAKA
1. LITERATUR
· Ali
Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta,
Jakarta, 1977.
· Bahari,
Adib, Tata Cara Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono-Gini, dan Hak Asuh Anak,
Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2016.
· Dja’is
Mochammad, Hukum Harta Kekayaan dalam
Perkawinan, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang.
· H.
M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah Masalah Krusial, Cetakan
Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
· Hadikusuma,
Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007.
· Harahap,
M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005.
· Hartanto,
J. Andi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut Wetboek dan Undang-undang
Perkawinan, Cetakan Kedua, Lasbang Grafika, Yogyakarta, 2012.
· Ibrahim,
Johnny, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, Bayumedia
Publishing, Malang-Jawa
· Prodjodikoro,
Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, cetakan Keenam, Sumur,Bandung, 1974.
· Rato,
Dominikus, Hukum Perkawinan dan Waris Adat di Indonesia (Sistem Kekerabatan,
Perkawinan dan Pewarisan Menurut Hukum Adat), Laksbang Pressindo, Yogyakarta,
2015.
· Saifuddin,Muhammad
dkk,Hukum Perceraian, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,Jakarta, 2013.
· Satrio,
J, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
· Soekanto
dan Sri Mamudji, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, CV.Rajawali, Jakarta,
1983.
· Soemiati,
Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkwinan, Liberty, Yogyakarta, 1997.
· Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1985.
· Susanto,
Dedi, Kupas Tuntas Masalah Harta Gono-Gini, Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2011.
· Susanto,
Happy, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Tejadi Perceraian, Cetakan kedua, Visi
Media, Jakarta, 2008.
· Susilo,
Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Cetakan Ketiga, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2008.
· Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
· Bahasa
Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
· Wahyuningsih,
Erna, dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Rambang Palembang,
2006.
· Wignjodipoero,
Soerojo, Pengantar dan AsasAsas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1995.
2. SUMBER-SUMBER
LAIN
· Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
· Kompilasi Hukum Islam.
· Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
· Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
· Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 7 November 1956.
· Putusan Mahkamah Agung Nomor 13.K/Sip/1961/ tanggal 01 Februari 1961.
· Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 9 Oktober 1968 Nomor 89K/Sip/1968.
· Yurisprudensi konstan Mahkamah Agung RI Nomor 803K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1970.
· Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 803K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1971.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar