04 Mei 2024

NAPAK TILAS SEJARAH PERJALANAN MAHKOTA BINOKASIH SANGHYANG PAKE SAMPAI KIRAB MAHKOTA.

NAPAK TILAS SEJARAH PERJALANAN MAHKOTA BINOKASIH SANGHYANG PAKE SAMPAI KIRAB MAHKOTA.


PERHATIAN, Baca dengan bijaksana dan pahami alur sejarahnya karena semuanya merupakan satu rangkaian peristiwa sejarah yang tdk bisa di pisahkan & baca sambil ngopi lur karena paparan sejarahnya panjang.


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah & jasa para pahlawannya. Perjalanan sejarah Sunda sangatlah panjang karena di Jabar banyak kerajaan Sunda2 mulai dari Salaka Nagara sampai Sumedang Larang sebagai kerajaan Sunda terakhir, secara garis silsilah raja2nya semua menyambung dari Galuh ke Sunda Pajajaran dan Sumedang Larang.


Mahkota Binokasih Sanghyang Pake adalah mahkota raja-raja Sunda yang di wariskan turun menurun dari mulai Niskala Wastu Kencana (1371 - 1475,) sampai raja Kerajaan Sunda terakhir Prabu Geusan Ulun (1578 - 1601). Ada tiga masa Kerajaan Mahkota Binokasih mulai masa Kerajaan Sunda Galuh, masa Pajajaran dan masa Sumedang Larang.


I. Masa Kerajaan Sunda Galuh.


Mahkota Binokasih Sanghyang Pake dibuat atas prakarsa Prabu Bunisora Suradipati Raja Galuh (1357 - 1371) mahkota di buat untuk penobatan Niskala Wastu Kencana .


Niskala Wastu Kancana atau Anggalarang atau Wangisutah lahir di Kawali, Galuh pada tahun 1348 dan wafat pada tanggal 1475, di tempat yang sama. Niskala Wastu Kancana adalah raja dari Kerajaan Pajajaran dan memerintah antara tahun 1371 hingga 1475. Sebelumnya didahului oleh pamannya, Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati atau Prabu Guru di Jampang (1357-1371) yang memerintah setelah kakaknya, Prabu Maharaja Linggabuana, gugur di Pertempuran Bubat.


Prabu Niskala Wastu Kancana menggantikan posisi Prabu Bunisora pada usia 23 tahun (1371) M, dengan gelar Mahaprabu Niskala Wastu Kancana atau Praburesi Buana Tunggadewata, dalam naskah yang paling muda ia disebut Prabu Linggawastu putra Prabu Linggahiyang. Tulisan dalam Carita Parahiyangan tersebut, sebagai berikut:[3]


Bahasa Sunda Kuno:


Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na agama, kretayuga. Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu éléh ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang. Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai. Batara Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Paké, basa nu wastu dijieun ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka déwata. Nu di tiru ogé paké Sanghiyang Indra, ruku ta. Sakitu, sugan aya nu dék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daék éléh ku satmata. Mana na kretayuga, éléh ku nu ngasuh. Nya mana sang rama énak mangan, sang resi énak ngaresisasana, ngawakan na purbatisti, purbajati. Sang disri énak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman alas pari-alas. Ku béét hamo diukih, ku gedé hamo diukih. Nya mana sang Tarahan énak lalayaran ngawakan manu-rajasasana. Sanghiyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu énak-énak,ngalungguh di sanghiyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghiyang rajasasana, angadeg wiku énak di Sanghiyang Linggawesi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku énak ngadéwasasana ngawakan Sanghiyang Watang Ageung, énak ngadeg manu-rajasuniya.


Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda, selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk, yang terjadi pada tahun 1453-1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum).


Setelah wafat, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, dipusarakan di Nusalarang, sehingga ia kemudian dikenal dengan Sang Mokteng Nusalarang. Dan membagi wilayah sunda kepada 2 orang anaknya, yang satu berkuasa di Sunda sebelah barat (Pakuan), Bogor dan Sunda sebelah timur (Galuh), Kawali, Ciamis.


Pertama, Ningrat Kancana merupakan putra sulung hasil perkawinan Prabu Niskala Wastu Kancana dengan putri Dewi Mayangsari putri Prabu Bunisora. Ia kemudian diangkat menjadi sebagai Raja Anom di Galuh mendampingi ayahnya (Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana penguasa Kerajaan Sunda Galuh), dengan gelar penobatan Ningrat Kancana, Prabu Dewa Niskala. Ia berkuasa di timur sungai Citarum hingga sungai Cipamali. Ia adalah ayah Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja.


Kedua, Sang Haliwungan menjadi raja anom di kerajaan Sunda sejak tahun 1382 Masehi, dengan nama penobatan Prabu Susuk Tunggal, dengan pusat pemerintahannya di kota Pakuan (Bogor). Prabu Susuk Tunggal merupakan putra Mahapraburesi Niskala Wastu Kancana (penguasa Kerajaan Sunda Galuh yang berkedudukan di daerah timur, Kawali) dari istrinya, Dewi Lara Sarkati, putri penguasa Lampung, Resi Susuk Lampung. Ia berkuasa di tanah kerajaan Sunda, dari sungai Citarum ke barat. Ia berkuasa cukup lama (selama 100 tahun), sebab sudah dimulai saat ayahnya berkuasa (1371-1475) M. Putrinya, Kentring Manik Mayang Sunda, kemudian menikah dengan Jayadewata putra Prabu Dewa Niskala dari Keraton Galuh.


II. Masa Kerajaan Pajajaran.


Dengan demikian jadilah raja Sunda dan Galuh yang seayah (keduanya putra Niskala Wastu Kancana) menjadi besan. kemudian Prabu Jayadewata menerima tahta Galuh dari ayahnya, Prabu Dewa Niskala dengan gelar Prabu Guru Dewataprana dan menerima tahta Sunda dari mertuanya, Prabu Susuk Tunggal, yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mempersatukan 2 istana Sunda, yaitu keraton Galuh dan Sunda Pakuan.


Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi III (Sunda: ᮞᮢᮤᮘᮓᮥᮌᮙᮠᮛᮏ, translit. Sri Baduga Maharaja atau (Sunda: ᮕᮨᮻᮘᮥᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ, translit. Perebu Siliwangi) juga dikenal sebagai Ratu Jayadewata (1401–1521) putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482–1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran yang sekarang terletak di Kota Bogor mencapai puncak perkembangannya.


Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Seperti halnya ayahnya Niskala Wastu Kencana waktu di nobatkan menggunakan Mahkota Binokasih Sanghyang Pake maka Prabu Jayadewata pun menggunakan Mahkota Binokasih sebagai warisnya.


Mahkota Binokasih Sanghyang Pake merupakan pusaka Kerajaan Sunda Pajajaran karena mahkota lambang kekuasaan seorang raja berkuasa dan bertahta menjadi seorang raja. Sejak itu Mahkota Binokasih di gunakan oleh raja-raja Pajajaran mulai dari : 


1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertakhta di Pakuan (Bogor sekarang).


2. Surawisesa (1521 – 1535), bertakhta di Pakuan.


3. Ratu Dewata (1535 – 1543), bertakhta di Pakuan.


4. Ratu Sakti (1543 – 1551), bertakhta di Pakuan.


5. Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Sultan Maulana Hasanuddin dan anaknya, Maulana Yusuf.


6.Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang.


Raga Mulya adalah raja terakhir Kerajaan Sunda (1567-1579 M) yang beribu kota di Pakuan Pajajaran menggantikan Ratu Nilakendra. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana, sedangkan dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya.[1]


Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia dikenal pula sebagai Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari (mungkin raja ini berkedudukan di Desa Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari).


Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan,


Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala

yang artinya,


"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."

Tanggal tersebut kira-kira bertepatan dengan 8 Mei 1578 M.


Dan berakhirlah zaman Pajajaran (1482 - 1579). Itu ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian. Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka itu, Maulana Yusuf mengklaim merupakan penerus kekuasaan Pajajaran yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja sementara di sisi lain seluruh atribut dan perangkat kerajaan secara resmi diserahkan kepada Kerajaan Sumedang Larang melalui empat Kandaga Lante.


III. Masa Kerajaan Sumedang Larang


Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, pengaruh kekuatan 

Pajajaran sudah melemah dibeberapa daerah termasuk Sumedang. Melemahnya Pajajaran 

akibat serangan Banten beberapa daerah dulunya kekuasaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan Surasowan Banten dan kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasidan secara de facto menjadi merdeka.


Setelah melihat keadaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Ragamulya Suryakancana memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke Sumedang, maka berangkatlah empat Senapati Pajajaran yang menyamar sebagai Kandaga Lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi melalui jalur selatan mengjindari kejaran pasukan Banten &:Cirebon, dari Pulosari rombongan melaui daerah  Muara Binuangeun terus ke Ujung Genteng sampai pantai sancang , tengah perjalanan rombongan dibagi dua, ronbongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya menetap di daerah Sancang Garut Selatan. Rombongan pertama sampai daerah Limbangan wilayah Kerajaan Kertarahayu di pimpin oleh Sunan Rumenggong, Dari silsilah asal usul Limbangan, disebutkan bahwa Sunan Rumenggong merupakan keturunan Prabu Siliwangi dari Nyai Putri Inten Dewata dan masih bersaudara dari Sunan Ranggalawe. 


Setiba di limbangan rombongan Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya 

(Nangganan), Sangyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot selain itu dalam rombongan tersebut ikut pula Layang Dikusumah atau Ki Ajar Gede (Mbah Gede), dan adik perempuannya Mayang Kusumah atau (Eyang Ambu) keturunan Pajajaran dari Kebataraan Gunung Pancar Bogor. Pangjagaan) yang disebut Hyang Ambu atau Nay Mas Maya-Hyang Kusumah (Mayang Kusumah), putri bungsu dari lima putra Prabu Batara Kusumah yang bertempat tinggal di Kabataraan Pancar Buana Bogor, Kelimanya adalah:

1. Layang Dikusumah/ mbah Gede, memimpin Kalungguhan Guru Wisesa dengan gelar Ki Ajar Gedé.

2. Jaya Kusumah, diberdayakan untuk menjadi Kandaga Lante Pajajaran dengan gelar Prabu Jaya Prakosa/ Mbah Jaya Perkosa.

3. Raksa Kusumah (tidak ada jejaknya setelah Pajajaran burak)

4. Ni Mas Lénggang Kusumah (tidak ada jejaknya setelah Pajajaran burak)

5. Ni Mas Mayang Kusumah.


Setelah rombongan Kandaga Lante diterima Sunan Rumenggong atas nasehat dari para sesepuh & tokoh Pajajaran yang ada di Limbangan seperti Aji Mantri, Sutra Bandera, Sutra Umbar dan Patih Sumedang Larang Gajah Lindu, atas saran Sunan Rumenggong Mahkota Binokasih Sanghyang Pake untuk diserahkan ke Sumedang Larang, mahkota tidak diberikan ke Galuh karena pada masa itu Galuh sudah dikuasai dan dibawah Kesultanan Cirebon. Kemudian Patih Gajah Lindu / Ki Guntur Geni siapkan pasukan Sumedang Larang di daerah Cibugel Darmaraja perbatasan antara Sumedang dan Garut untuk menyambut rombongan Kandaga Lante dan mengawalnya ke Karaton Kutamaya Sumedang Larang.


Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum‟at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” beserta atribut kebesaran kerajaan lainnya (seperti Kujang dan Tombak Bandrangan tombak pasukan berkuda Pajajaran sekarang ada di museum Prabu Geusan Ulun Sumedang ).


Mahkota Binokasih Sanghyang Pake kemudian di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang waktu itu Pangeran Santri (1530 - 1578) kemudian empat Kandaga Lante berkata Ghesan Ulun Kumawula 

(tempat mengabdi kepada Sumedanglarang), pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya 

dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601)sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya Sumedangmandala”(Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya. Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali 

(daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedanglarang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.


Dengan dinobatkan Prabu Geusan Ulun sebagai Nalendra Penerus Kerajaan Sunda maka Sumedang Larang sebagai negara berdaulat dan merdeka yang sebelumnya dibawah bayangi Kesultanan Cirebon masa Pangeran Santri.


Penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari raja Sunda Pajajaran.


Peristiwa Penyerahan Mahkota Binokasih tanggal 22 April 1578 akhirnya dijadikan tanggal hari jadi Kabupaten Sumedang.


Di serahkan Mahkota Binokasih Sanghyang Pake ke Sumedang Larang karena Sumedang Larang satu2 kerajaan bawahan Pajajaran yang kuat dan punya wilayah yang luas, ketika Pajajaran burak kerajaan bawahan lain pilih gabung dengan Banten dan Cirebon sedangkan Sumedang Larang tidak lebih berdaulat & merdeka, ketiga Sumedang Larang kerajaan Sunda terakhir masih mengikuti sistem pemerintahan kerajaan Hindu dengan gelar rajanya PRABU meskipun Prabu Geusan Ulun beragama Islam (Islam masuk Sumedang th 1530 masa Pangeran Santri sebelum itu beragama Hindu seperti Pajajaran) dan secara garis keturunan raja2 Sumedang masih keturunan dari Kerajaan Galuh sama seperti dengan raja2 Pajajaran.


Pada tahun 1620 seluruh wilayah tatar Sunda dikuasai oleh Kesultanan Mataram semua bekas kerajaan Sunda di rubah menjadi Kabupaten termasuk Sumedang karena Sumedang bekas sebagai Kerajaan Sunda terakhir di tatar Sunda mempunyai wilayah paling luas maka Sumedang sebagai Kota Wedana pertama di tatar Sunda / Parahyangan.


Ketika Sumedang sudah bukan kerajaan lagi Mahkota Binokasih menjadi Pusaka peninggalan leluhur Sumedang yang di wariskan turun menurun ke tiap Bupati Sumedang untuk di jaga & rawat, Mahkota Binokasih pun tak luput dari incaran Sultan Agung untuk di "rampas" di bawa & serahkan ke Mataram sebagai tanda Sumedang takluk di bawah Mataram tapi Pangeran Suriadiwangsa (1601 – 1625) Bupati pertama Sumedang menolaknya akhirnya tawarkan dirinya utk dibawa ke Mataram akhirnya di angkat sebagai adipati (sampai akhir di hukum mati karena di fitnah memberontak ke Mataram) kemudian posisi Bupati Sumedang di gantikan oleh Pangeran Rangga Gede (1625 - 1633).


Masa Pangeran Suria Kusumah Adinata Bupati Sumedang (1836 - 1882) Mahkota Binokasih digunakan untuk penobatan seorang raja tapi untuk upacara pernikahan para putra dan cucu-cucunya tradisi ini sampai berlangsung sampai sekarang tapi gunakan replika sejak tahun 1985.


Ketika masa Pangeran Aria Suria Atmadja Bupati Sumedang (1882 - 1919) terjadi polemik di antara keturunan raja2 Sunda termasuk menak Sumedang yang inginkan pusaka peninggalan leluhur untuk diberikan kepada ahli warisnya, demi menjaga keamanan dan kelestarian selamanya agar generasi berikutnya bisa melihat Mahkota Pusaka Kerajaan Sunda maka Mahkota Binokasih Sanghyang Pake masuk ke dalam Pusaka Peninggalan Leluhur Sumedang yang di WAKAF kan karena sudah barang wakaf keberadaanya tidak bisa di ganggu gugat atau di wariskan atau di rubah atau bawa oleh siapapun.


Pada masa penjajah Belanda duduki Sumedang waktu itu Gedung Srimanganti dan Gedung Negara dijadikan markas pasukan Belanda, Mahkota Binokasih pun tak luput jadi incaran pasukan Belanda untuk dibawa sebagai barang rampasan perang sampai Belanda waktu itu bentuk pasukan khusus untuk buru dan bawa mahkota, waktu itu keluarga keturunan leluhur Sumedang dan para pejuang sudah berhasil amankan dan pertahankan sampai ada berapa keluarga trah Sumedang Larang gugur bersama para pejuang demi menjaga Pusaka Leluhur Sumedang. Berapa pusaka peninggalan leluhur Sumedang untuk keris2 pusaka dibawa oleh keluarga Pangeran Suria Kusumah Adinata dari Ni.Rd. Ayu Ratnaningrat dibawa mengungsi ke Dayeuh Luhur dan Mahkota Binokasih dibawa oleh keluarga Ni.Rd. Ayu Radjapomerat di bawa mengungsi ke daerah Cibugel Darmaraja pergunungan antara Sumedang dan Garut.


Pada tahun 1985 an Mahkota Binokasih Sanghyang Pake sudah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya Nasional yang lindungi oleh Undang-undang Cagar Budaya dan tersimpan di dalam Gedung Pusaka Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang sejak tahun 1998.


IV. Kirab Panji dan Mahkota Binokasih .


Berdasarkan peristiwa sejarah di atas maka di adakan event Pariwisata Kabupaten Sumedang tiap tahunnya yaitu KIRAB PANJI KARATON SUMEDANG LARANG & KIRAB MAHKOTA KEMAHARAJAAN SUNDA (mulai Sunda Galuh, Pajajaran & Sumedang Larang)


Kirab Panji Karaton Sumedang Larang pertama kali diadakan pada tahun 2010 sampai sekarang atas prakarsa H.R.O. Hasan Suria Kusumah Adinata Pemangku Adat Keprabuan Sumedang Larang. Tujuan Kirab Panji untuk MENGINGAT perjalanan SEJARAH SUMEDANG akan kebesaran Sumedang Larang pada masa lalu khususnya peristiwaan penyerahan Mahkota Binokasih dan kejayaan Sumedang Larang. 


Kirab Panji Karaton Sumedang di adakan setiap Hari Jadi Kabupaten Sumedang setiap bulan april.


Kirab Mahkota Binokasih di UU kota Ciamis dan Bogor baru di adakan sejak tahun 2023 sedangkan Kirab Mahkota di Sumedang gabung bersama Kirab Panji Karaton Sumedang Larang di adakan sejak tahun 2016 . Tujuan Kirab Mahkota Binokasih adalah NAPAK TILAS SEJARAH Perjalanan Mahkota Binokasih mulai dari kerajaan Sunda Galuh sampai Sumedang Larang. Dengan ada kegiatan ini tumbuhkan rasa mencintai dan menghargai Sejarah Nusantara dan budaya daerah sebagai identitas bangsa .


Adanya  Kirab Panji dan Mahkota Binokasih merupakan event tetap Pariwisata Kabupaten Sumedang di gelar tiap tahunnya dan menjadi event Pariwisata Jabar sehingga meningkatkan perekonomian masyarakat Sumedang.


Hung Ahung sampurasun

Rahayu Sagung Dumadi

R. Abdul Latief


Sumber Referensi :

-https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bunisora

-https://id.m.wikipedia.org/wiki/Niskala_Wastu_Kancana

-https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sri_Baduga_Maharaja

-https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pakwan_Pajajaran

-https://id.m.wikipedia.org/wiki/Raga_Mulya

- Widjajakoesoemah, Drs.Asikin .1960.Runcatan Sajarah Sumedang,

- Anwas Adiwilaga, Prof.Ir. 1975.

  Sejarah Jawa Barat (sekitar permasalahannya) Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional,    Jabar.

- Sejarah Leluhur Sumedang Hanjuang, 1977 Museum Prabu Geusan Ulun.

- R. Abdul Latief, 2008 Sejarah Sumedang, Insun Medal Insun Madangan.



Amalan yang bisa membuat kebahagiaan dunia & Akhirat

 BARANG SIAPA MENGAMALKAN INI DOSA BESAR SEKALIPUN ALLAH AMPUNI