Beberapa bulan yg lalu ramai berita tentang kasus beberapa Debt Collector yang menarik paksa salah seorang selegram... bahkan sempat viral.
Sebenarnya menagih itu syah-syah saja dan memang harus, akan tetapi karena mungkin cara menagihnya itu yang salah, dengan maksakan sesuatu tanpa mengikuti aturan-aturan ataupun Undang-undang yang berlaku.
Untuk itu kita bahas ...
Apa Itu Debt Collector?
Istilah Debt Collector berasal dari bahasa Inggris, secara
harfiah, kata Debt artinya Utang dan kata Collector artinya Pengumpul atau
dalam konteks ini berarti penagih. Sehingga dapat diartikan bahwa debt
collector artinya Penagih Utang.
Secara umum, seperti dikutip dari situs Kementrian Keuangan
(Kemenkeu) RI, debt collector disebut sebagai jasa penagihan di bidang
perbankan. Debt collector adalah sekumpulan orang yang menjual jasa untuk
menagih utang seseorang atau lembaga yang menyewa jasa mereka. Debt collector
adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal
penagihan kredit.
Aturan Hukum Debt Collector
Sejauh ini, peraturan atau dasar hukum yang spesifik tentang
debt collector memang masih belum ada. Meski begitu, seperti dilansir situs
Kemenkeu RI, debt collector dalam melaksanakan jasa penagihan utang diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) Nomor 14/17/DASP Tahun 2012 tentang
Penagihan Utang Kartu Kredit.
Menurut SE tersebut, ketentuan penagihan utang adalah
sebagai berikut :
- Debt collector hanya boleh menagih utang macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit. Kategori utang macet adalah ketika keterlambatan cicilan sudah lebih dari 6 bulan.
- Kualitas penagihan harus sesuai standar bank. Harus dipastikan kualitas penagihan yang dilakukan oleh debt collector mengikuti standar kualitas yang berlaku di bank.
- Debt collector harus sudah memiliki pelatihan memadai.
- Identitas debt collector harus jelas dan diadministrasikan oleh bank.
Etika Penagihan Utang Debt Collector
Menurut Pasal 191 Peraturan BI (PBI) Nomor 23/6/PBI Tahun
2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), dalam melakukan penagihan wajib
mematuhi pokok etika penagihan utang termasuk menjamin bahwa penagihan utang,
baik yang dilakukan oleh PJP sendiri atau menggunakan penyedia jasa penagihan
(debt collector), dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia serta
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, disebutkan bahwa penagih utang (debt collector) dilarang melakukan beberapa hal. Dilarang mengancam, melakukan tindakan kekerasan yang bersifat mempermalukan, serta memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal.
Sehingga dapat dipahami bahwa apa itu debt collector sebagai penagih utang keberadaannya tidaklah dilarang secara hukum di Indonesia. Meski begitu, dalam pelaksanaannya debt collector perlu mengikuti aturan yang berlaku dan tidak melakukan tindak kekerasan atau semacamnya.
Mengenai eksekusi atau penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah masih terdapat perbedaan pendapat terkait teknis pelaksanaannya walaupun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Namun ada hal-hal yang telah disepakti bahwa proses eksekusi atau penarikan kendaraan oleh debt collector harus dilengkapi dengan :
1. Adanya sertifikat fidusia
2. Surat kuasa atau surat tugas penarikan
3. Kartu sertifikat profesi
4. Kartu Identitas
Apabila ada debt collector yang secara sengaja melakukan penarikan paksa dengan cara-cara yang diluar aturan maka segera Laporkan kepada Kepolisian, karena yang berhak Menarik atau menyita barang tersebut adalah Polisi Atau Pengadilan. Dalam hal gagal bayar bagi nasabah (kreditur) adalah menjadi hutang yang tentu dengan adanya jaminan (BPKB) hal ini hukumnya Perdata. akan tetapi bagi Debt Collector yang main Tarik dan sita secara sepihak, apalagi dengan cara-cara yang tidak pantas (dengan tidak ada etika apalagi kekerasan) maka dapat di Pidanakan.
Debt collector yang secara paksa mengambil barang kreditan dengan menggunakan kekerasan bisa dituntut pidana, Pasal 365 dan Pasal 378 KUHP serta Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Demikian uraian singkat ini semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar