PENINJAUAN KEMBALI / PK
Putusan kasasi merupakan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum
yang tetap, oleh karena itu jika masih tidak puas dengan putusan kasasi, para
pihak dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung melalui
panitera pengadilan negeri.
Permohonan peninjauan kembali diajukan tidak hanya atas ketidakpuasan
terhadap putusan kasasi, tetapi terhadap segala putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam arti terhadap putusan pengadilan negeri
yang tidak diajukan banding dapat diajukan peninjauan kembali, terhadap putusan
pengadilan tinggi yang tidak diajukan kasasi dapat dimohon peninjauan kembali.
Namun, upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali.
Oleh karena itu, jika masih ingin melakukan upaya hukum, hal tersebut sudah
tertutup. Pada waktu mengajukan peninjauan kembali, pemohon peninjauan kembali
harus memiliki bukti baru yang tidak pernah dikemukakan sebelumnya, dan apabila
itu dikemukakan pada persidangan sebelumnya, putusannya akan menjadi lain, atau
memiliki bukti bahwa hakim telah salah dalam menerapkan hukum.
Prosedur pengajuan permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan
secara lisan atau secara tertulis oleh orang yang pernah menjadi salah satu
pihak dalam sengketa perdata kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui
pengadilan negeri yang memutuskan perkaranya pada tingkat pertama.
Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan. Selama belum ada putusan, permohonan peninjauan
kembali yang hanya dapat diajukan satu kali itu dapat dicabut. Mahkamah Agung
Republik Indonesia memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama
dan tingkat terakhir. Ini menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali hanya
diajukan satu kali, dan dikenal suatu istilah'tidak ada peninjauan kembali di
atas peninjauan kembali'.
Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila dalam putusan
mengenai perkara yang bersangkutan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya suatu kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu, yang untuk itu semua telah dinyatakan pula oleh hakim pidana. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak diketahuinya kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu berdasarkan putusan hakim pidana.
2. Adanya surat-surat bukti yang bersifat menentukan, jika surat-surat bukti dimaksud dikemukakan ketika proses persidangan berlangsung. Bukti semacam itu disebut pula dengan istilah novum. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak diketahui atau ditemukannya bukti baru (novum).
3. Adanya kenyataan bahwa putusan hakim mengabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut. Peninjauan kembali dapat diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
4. Adanya bagian mengenai suatu tuntutan dalam gugatan yang belum diputus tanpa ada pertimbangan sebab-sebabnya. Peninjauan kembali diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
5. Adanya putusan yang saling bertentangan, meskipun para pihaknya sama, mengenai dasar atau soal yang sama, atau sama tingkatannya. Peninjauan kembali ditujukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
6. Adanya kenyataan bahwa putusan itu mengandung suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata sehingga merugikan pihak yang bersangkutan. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Terhitung selama 14 hari kerja sejak ketua pengadilan negeri yang memeriksa perkaranya menerima permohonan peninjauan kembali, pihak panitera berkewajiban menyampaikan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawannya. Pihak lawan yang akan mengajukan jawaban atau permohonan peninjauan kembali, hendaknya diajukan dalam tempo selama 30 hari. Jika jangka waktu tersebut terlampaui, permohonan peninjauan kembali segera dikirimkan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mengapa terjadi Putusan Peninjauan Kembali?
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum apa?
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Bab XVIII UU Nomor 8 Tahun 1981, peninjauan kembali merupakan salah satu upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan di Indonesia.
Ada Pertanyaan ?
Jika suatu putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap diajukan Peninjauan Kembali (PK), kemudian PK dikabulkan. Apakah putusan PK yang dikabulkan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap? Lalu bagaimana status putusan sebelumnya (yang dimintakan PK), masihkah disebut putusan berkekuatan tetap?.
Ulasan :
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), pengertian upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (“PK”) dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
KUHAP membagi lagi upaya hukum menjadi 2 jenis, yaitu upaya hukum biasa yang disebutkan pada BAB XVII KUHAP, dan upaya hukum luar biasa yang disebutkan pada BAB XVIII KUHAP. Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung dan PK.
Kemudian, pengertian putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dalam kaitannya dengan putusan pidana, dapat ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (“UU 5/2010”) yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. Putusan kasasi.
M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) menjelaskan sebagai berikut:
Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.
Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan PK haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permintaan untuk dilakukan PK justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Pendapat Yahya tersebut berkaitan dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Yang mengatakan bahwa permintaan PK atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, permintaan PK dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Terhadap putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak bisa dilakukan upaya hukum PK. Hal ini ditegaskan dalam bunyi dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah:
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Namun terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, bisa dilakukan upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 dan kasasi demi kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung (Pasal 259 KUHAP). Baca juga artikel Upaya Hukum Terhadap Putusan Bebas dan Putusan Lepas.
Perlu dipahami bahwa PK hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, atau tingkat banding, atau tingkat kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap. Dikatakan berkekuatan hukum tetap karena para pihak menerima putusan tersebut dengan tidak mengajukan upaya hukum biasa.
Atau bisa jadi para pihak tidak menerima putusan berkekuatan hukum tersebut dikarenakan telah lewat jangka waktu untuk pengajuan upaya hukum biasa.[1] Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 235 ayat (1) jo. Pasal 247 ayat (4) KUHAP, pengajuan upaya hukum biasa hanya bisa dilakukan 1 Kali.
Dalam buku berjudul Kitab Undang-Undang Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar (Hal. 222-223), yang ditulis oleh M. Karjadi dan R. Soesilo, menurut Martiman Prodjokamidjojo, S.H. penjelasan Pasal 263 KUHAP diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Asas bahwa suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak bisa dirubah, berarti bahwa suatu perkara yang sama tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya ke pengadilan. Asas ini dinamakan asas nebis in idem;
2. Pengajuan Peninjauan Kembali pada dasarnya bahwa hakim adalah hanya manusia belaka yang tidak terlepas dari kekeliruan dan jauh dari pada sempurna. Dan hal-hal yang diajukan ke mahkamah agung ini (PK), jika dahulu diketahui atau diketemukan di persidangan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding maka putusan akan berbunyi lain dari pda yang telah dijatuhkan;
3. Untuk mengajukan Peninjauan Kembali, pasal ini memberikan batasan secara limitatif terhadap yang dapat diajukan sebagai alasan permintaan peninjauan kembali suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga peninjauan kembali tidak dapat dilakukan diluar alasan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Berkaitan dengan asas nebis in idem, Pasal 268 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Asas tersebut juga diatur di Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu:
Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
Untuk putusan pidana yang Anda maksud, berarti terhadap putusan pidana yang dimintakan PK tersebut menurut Pasal 268 ayat (1) KUHAP, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan yang diajukan PK.
Putusan pidana pada tingkat pertama, banding, atau kasasi masih dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap selama belum ada putusan PK. Putusan PK dapat berdampak 2 hal menurut Pasal 266 ayat (2) KUHAP:
a. Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
1. Putusan bebas;
2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Perlu dipahami bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang dijatuhkan dalam putusan semula.
Dengan demikian terhadap putusan PK yang membenarkan alasan pemohon adalah berkekuatan hukum tetap, dan putusan tersebut membatalkan putusan yang dimintakan PK itu. Hal ini didasari pula berdasarkan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP dan asas nebis in idem yang diatur di Pasal 268 ayat (3) KUHAP jo. Pasal 76 ayat (1) KUHP.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar