Sebelumnya kalau kamu belum nonton video saya yang berjudul bagaimana menjadi magnet uang.
Sebelumnya kalau kamu belum nonton video saya yang berjudul bagaimana menjadi magnet uang.
Inilah beberapa kenyataan / hal-hal kecil yg sering kita lihat dalam kesehari-harian, beberapa ciri-ciri / tanda-tanda kecil Akhir Zaman yg sdg terjadi :
Semoga kita menyadari dan bebenah diri dengan Perkembangan Zaman Sekarang yang begitu memprihatinkan.
Semoga kita semua tetap berada didalam Lindung Allah S.W.T,.
Aamiin Ya robal alamiin.
Beberapa orang gagal, karena mereka mencoba Meniru Orang Lain
Tanpa Menyadari Bahwa
Setiap Orang Memiliki Kertas Ujian yang Berbeda.
Ketika kamu sakit, Allah ambil 3 hal dari mu :
Sungguh betapa Allah Maha Baik....
JANGAN JADI SEPERTI GUNTING
WALAUPUN BERGERAK LURUS TAPI IA MEMISAHKAN
MAKA,
JADILAH JARUM, WALAU MENYAKITKAN TAPI IA MENYATUKAN.
"Forever And One (Neverland)", a powerful ballad written by singer Andi Deris, was the second single from HELLOWEEN's album "The Time Of The Oath" from 1996.
Lagu jadul akan tetapi masih melegenda .... LOVE OF MY LIFE By Mreddy Mercury - Queen
BIS apa yang paling kereen ?
BISa jadi gue.... 😅😅😅
BUS apa yang enak dipandang ?
BUSet Gue lagi ... 😅😅😅
LAGU apa yang paling disukai ?
LAGUe laahhh.... 😅😅😅
KURA2 apa yang paling manis ?
KURAsa gue juga ....... 😅😅😅
RAS apa yang paling baek ?
RASanya masih gue dech....😅😅😅
MAS apa yang lucu?
MASa gue lagi??.... 😅😅😅
Ayah : Bu, jangan biasakan memberi nomor HP atau WA pada sembarang orang ya !
Ibu : Iyaa, ayah...
Keesokan harinya ....
Ibu : Ohh iya Yah, kemarin aku beli pulsa dikonter HP tapi nomornya ibu, tak palsukan agar si konter gak tahu nomorku, itu kan pesan ayah kan....
Ayah : ........ ?????
Sering kali terjadi permasalahan dalam hal kepengurusan dan juga keberlanjutan dari harta serta hak-hak properti yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia. Sehingga tidak heran jika waris ini menjadi hal sensitif untuk dibicarakan dalam kehidupan manusia. Bahkan waris ini biasanya menjadi penyebab dalam terjadinya pertikaian di dalam keluarga. Hubungan keluarga bisa hancur hanya karena persoalan tentang waris dan pembagiannya yang dinilai tidak adil.
Bagi masyarakat Indonesia yang menganut agama Islam, merasa bahwa hal-hal tentang waris yang berdasarkan pada hukum waris Islam merupakan suatu keharusan sebagai konsekuensi ketaatan mereka dalam menjalankan ajaran syariat Islam. Untuk mengetahui lebih jelas terkait waris dan hukumnya berdasarkan ajaran Islam
Apa
Itu Waris dalam Hukum Islam
Waris dalam pengertian
hukum waris Islam merupakan aturan yang dibuat untuk mengatur dalam hal
pengalihan atau perpindahan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada
orang atau keluarga yang disebut juga sebagai ahli waris. Sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171 yang menjelaskan tentang waris, memiliki
pengertian “Hukum waris islam sepenuhnya adalah hukum yang dibuat untuk
mengatur terkait pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, serta
menentukan siapa saja yang berhak menerima dan menjadi ahli warisnya, dan juga
jumlah bagian tiap ahli waris”. Oleh karena itulah, di dalam hukum waris Islam
juga tertera aturan dalam menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris, jumlah
bagian dari masing-masing para ahli waris, hingga jenis harta waris atau
peninggalan apa yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya.
Sehingga banyak makalah hukum waris Islam yang mengatakan bahwa Al-Qur’an memang menjadi landasan utama sebagai dasar hukum dalam penentuan pembagian waris. Sebab seperti yang diketahui bahwa masih sangat sedikit ayat-ayat pada Al-Qur’an yang merincikan suatu hukum dengan detail, kecuali persoalan tentang hukum waris. Sedangkan untuk persoalan ketetapan dalam hal-hal pewarisan, biasanya bersumber dari hadis yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW.
Undang-undang yang Mengatur Wasiat dan Hukum Waris Islam di Indonesia
Dalam hukum waris Islam, tidak hanya membahas tentang pembagian harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Tetapi juga terdapat aturan terkait peralihan harta yang ditinggalkan oleh pewaris karena meninggal dunia. Dalam peralihan harta dari pewaris ke ahli warisnya, ternyata terdapat tata caranya yaitu melalui cara wasiat.
Berbicara tentang hukum waris Islam yang memang berlandaskan pada ayat-ayat Al-Qur’an, hal-hal tentang wasiat juga ada dalam Al-Qur’an dan juga Hukum Islam Indonesia. Berikut beberapa di antaranya:
Hukum waris Islam di
Indonesia juga diatur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) sesuai dalam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Dimana KHI merupakan sebuah Peraturan
Perundang-undangan yang menyangkut hal-hal Perwakafan, Perkawinan, termasuk
juga hal-hal Pewarisan. KHI sendiri berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis
Rasulullah, yang mana akan digunakan secara khusus oleh Pengadilan Agama untuk
menjalankan tugasnya dalam menangani permasalahan keluarga masyarakat Islam di
Indonesia.
KHI berisi tiga buku yang masing-masing nya dibagi menjadi beberapa Bab serta Pasal. Untuk bidang hukum waris Islam, terdapat di buku II KHI berjudul “Hukum Kewarisan”. Buku KHI bidang hukum waris Islam ini terdiri atas 6 Bab dan 44 Pasal. Rincian dari buku II KHI sebagai berikut:
·
Bab
1 : Ketentuan Umum (Pasal 171)
·
Bab
2 : Ahli Waris (Pasal
172 – Pasal 175)
·
Bab
3 : Besarnya Bagian (Pasal 176 –
Pasal 191)
·
Bab
4 : Aul dan Rad (Pasal 192
– Pasal 193)
·
Bab
5 : Wasiat (Pasal
194 – Pasal 209)
·
Bab
6 : Hibah (Pasal
210 – Pasal 214)
Untuk hal-hal yang mengatur tentang wasiat dalam KHI, terdapat pada Bab V tepatnya di pasal 194 sampai pasal 209. Isinya kurang lebih seperti ini:
KHI sebagai Hukum waris Islam sepenuhnya brainly, juga mengatur tentang pemberian wasiat. Dimana hukum ini menjelaskan bahwa pemberian harta waris dibatasi dengan ketentuan maksimal 1/3 dari harta waris milik pewaris, atau bisa lebih jika para ahli waris menyetujuinya. Tujuan dari adanya hukum batasan wasiat ini ialah untuk melindungi para ahli waris dan mencegah terjadinya praktik wasiat yang dapat merugikan para ahli waris.
Penggolongan Kelompok Ahli Waris dalam Hukum Waris Islam Menurut Kompilasi Hukum Islam
Melihat dari rincian Bab dan Pasal pada buku II hukum waris Islam KHI, hal-hal tentang ahli waris diatur dalam Bab 2 yang terdiri dari Pasal 172 sampai Pasal 175. Dalam Bab ini, Ahli waris diartikan sebagai orang yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dengan pewaris yang meninggal dunia. Tentunya orang tersebut juga beragama Islam serta tidak terhalang hukum untuk ketika akan menjadi ahli waris.
Dalam hukum waris Islam, terdapat penggolongan kelompok ahli waris yang langsung diatur oleh KHI. Penggolongan kelompok ahli waris tersebut diatur pada Pasal 174, berbunyii:
Penggolongan
Kelompok Menurut Hubungan Darah
Penggolongan Kelompok Menurut Hubungan Perkawinan
Namun bila para ahli waris ada, yang paling berhak mendapatkan waris ialah anak, ibu, ayah, dan juga duda atau janda. Untuk urutan ahli waris, sebagai berikut:
Ada pula penggolongan kelompok ahli waris dari segi pembagian dalam hukum waris Islam KHI, yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
Rukun Warisan
Sama dengan persoalan-persoalan lainnya, waris juga memiliki beberapa rukun yang harus dipenuhi. Sebab jika tidak dipenuhi salah satu rukun tersebut, harta waris tidak bisa dibagikan kepada para ahli waris. Untuk menghindari hal tersebut, berikut beberapa rukun warisan berdasarkan hukum waris yang dilansir dari rumaysho.
Besaran Bagian Ahli Waris
Setiap ahli waris
memiliki besaran bagian masing-masing dalam hukum waris Islam. Untuk mengetahui
hal tersebut, kamu bisa melihat tabel pembagian harta warisan menurut Islam di bawah
ini.
Ahli Waris Besaran Bagian Keterangan
1 anak wanita 1/2 Seorang diri
2 atau lebih anak wanita 2/3 Bersama-sama
Anak wanita bersamaan 2 : 1 2 untuk pria, dan 1
untuk wanita dengan
anak pria
Ayah 1/3 atau 1/6 Bila
tidak ada keturunan / bila ada
keturunan
Ibu 1/6 atau 1/3 Bila
ada keturunan atau saudara dengan
jumlah 2 atau lebih / bila tidak ada keduanya
Ibu 1/3 Sisa dari duda atau janda bila bersama dengan ayah
Duda 1/2 atau 1/4 Bila
tidak ada keturunan/ bila ada keturunan
Janda 1/4 atau 1/8 Bila
tidak ada keturunan/ bila ada keturunan
*tidak ada keturunan dan ayah
Saudara Pria dan 1/6 atau 1/3 Masing-masing / bila jumlah 2 atau lebih perempuan seibu bersamaan
Saudara Kandung Seayah 1/2 atau 2/3 Bila sendiri / bila jumlah 2 atau lebih bersama-sama
Saudara Pria Seayah 2
: 1 dengan
Saudara Perempuan
Pengganti Tidak Dari ahli waris yang digantika
melebihi
Pembagian
Warisan ke Anak Perempuan
Pembagian harta warisan
menurut Islam untuk anak perempuan dapat dilihat dari kedudukan anak wanita
tersebut. Bila anak wanita itu merupakan anak tunggal, maka warisan yang
didapatkan nya adalah setengah bagian. Namun apabila memiliki 2 atau lebih anak
wanita, maka secara bersama mendapatkan 2/3 bagian.
Berdasarkan hukum waris Islam, apabila pewaris memiliki anak wanita dan juga anak pria. Maka anak pria 2 : 1 anak wanita bagian yang didapatkan nya.
Pembagian Warisan ke Istri atau Janda
Pembagian harta warisan jika suami meninggal menurut Islam untuk istri atau janda adalah istri atau janda tersebut akan mendapatkan setengah bagian dari harta bersama dengan suaminya. Setengah lebih harta bersama (milik suami) akan dibagikan ke istri atau janda dan anak-anaknya, dengan besaran bagian sama besar untuk masing-masing. Namun sesuai dengan hukum waris Islam ketika suami meninggal, apabila suami tidak memiliki anak, maka istri atau janda akan mendapatkan seperempat bagian. Tetapi jika suami memiliki anak, maka istri atau janda mendapatkan seperdelapan bagian.
Pembagian Warisan ke Ayah
Hukum waris Islam mengatur pembagian warisan ke Ayah memiliki besaran bagian yang cukup besar. Dimana ayah dari pewaris akan mendapatkan sepertiga bagian dari jumlah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris (anaknya). Namun kondisi tersebut berlaku selama pembagian warisan jika tidak punya anak laki-laki. Apabila pewaris memiliki keturunan, maka besaran bagian ayah lebih kecil sekitar seperenam bagian.
Pembagian Warisan ke Ibu
Ibu pewaris juga berhak mendapatkan warisan. Dalam hukum waris Islam, Ibu akan mendapat sepertiga bagian dari jumlah warisan yang ditinggalkan oleh pewaris (anaknya) apabila tidak memiliki keturunan. Jika ada keturunan, maka ibu hanya mendapatkan seperenam bagian. Tetapi ini berlaku jika ibu sudah tidak bersama ayah. Jika masih bersama, maka ibu hanya mendapat sepertiga bagian dari hak istri atau janda.
Pembagian Warisan ke Anak Laki-laki
Dalam hukum waris Islam, anak laki-laki memiliki bagian lebih besar dibandingkan dengan anak wanita dari pewaris. Sekitar dua kali lipat lebih besar bagiannya. Tetapi bila anak laki-laki itu anak tunggal, maka bagiannya menjadi setengah dari jumlah warisan pewaris (ayahnya).
Warisan Properti Pada Hukum Waris Islam
Warisan properti pada hukum waris Islam, tidak hanya berupa uang, perhiasan, ataupun benda berharga lainnya. Melainkan bisa juga warisan properti seperti tanah, sawah/ladang, dan juga rumah. Untuk pembagiannya sendiri tetap berdasarkan pada besaran bagian yang sudah di atur dalam hukum.
Prosedur Pelaporan Peralihan Hak Properti Setelah Waris
Warisan properti yang diberikan biasanya menggunakan nama pewaris, sehingga tidak heran jika ahli waris ingin melakukan peralihan agar menggunakan namanya. Berikut prosedur yang perlu dilakukan :
Proses tersebut membutuhkan waktu sekitar lima hari jam kerja untuk proses peralihan hak properti. Untuk jumlah biaya, disesuaikan dengan nilai properti yang dikeluarkan oleh pihak berwenang.
Syarat Ahli Waris Berhak Dapat Warisan Menurut Hukum Waris Islam
Syarat bagi ahli waris
yang berhak mendapatkan warisan menurut hukum waris Islam antara lain:
Dokumen Waris yang Perlu Dimiliki Ahli
Waris untuk Mendapatkan Haknya
Para ahli waris yang ingin mendapatkan hak warisnya, perlu memiliki dokumen-dokumen waris yang sesuai dengan hukum waris Islam. Beberapa dokumen tersebut ialah:
Cara Pembuatan Dokumen Waris
Cara pembuatan dokumen
waris berdasarkan hukum waris Islam adalah dengan mempersiapkan berkas-berkas
seperti: Fotocopy KTP dan KK ahli waris, surat pengantar dari RT dan RW
(sebagai saksi) yang sudah ditanda tangani, surat nikah pewaris, akta kelahiran
milik ahli waris. Nantinya kamu perlu mengajukan kepada kelurahan dan
dikukuhkan oleh camat.
Hukum Waris Perdata
Hukum waris perdata
belum terkodifikasi secara baik, karena masyarakat Indonesia beragam. Salah
satu hukum waris Islam yang berlaku pada Perdata adalah hukum waris Barat
(KUHPerdata BW). Hukum waris diatur bersama hukum benda, karena dianggap
sebagai hak kebendaan (Pasal 528), dan merupakan cara limitative oleh
undang-undang untuk memperoleh hak waris (Pasal 584).
Contoh Perhitungan
Berdasarkan hukum waris
Islam, contoh perhitungan atau kalkulator waris Islam adalah sebagai berikut.
Jadi itulah gambaran contoh perhitungan waris berdasarkan hukum waris Islam yang mungkin akan membantu kamu kedepannya dalam hal pembagian waris.
Dari artikel ini, dapat diketahui bahwa banyak sekali hal-hal terkait hukum waris Islam di Indonesia. Mulai dari undang-undang yang mengatur, penggolongan kelompok ahli waris berdasarkan hukum waris Islam, bagaimana pembagiannya yang adil dan sah sesuai hukum waris Islam, hingga rukun atau syarat lainnya yang berkaitan dengan waris.
Perlu kamu ingat bahwa waris merupakan hal sensitif dalam kekeluargaan. Sehingga sebaiknya dalam hal pembagian perlu diperhatikan dengan baik, dan sebisa mungkin mengacu pada hukum waris Islam. Sebab masyarakat Indonesia sangat yakin dan taat pada apa yang sudah diatur dalam hukum waris Islam.
ABSTRAK
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pembagian harta gono gini
atau harta bersama setelah terjadi perceraian
dan seberapa pentingnya perjanjian perkawinan terhadap harta gono-gini atau
harta bersama. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif
disimpulkan :
1. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama atau harta gono-gini diatur menurut hukumnya masing-masing. Tentang besaran bagian masing-masing suami/isteri atas harta bersama jika terjadi perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur.
2. Pentingnya perjanjian perkawinan dibuat agar supaya membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut undang-undang perkawinan. Artinya kebersamaan harta benda suami isteri itu sifatnya terbatas, yaitu hanya berkenaan dengan harta gono-gini saja. Atau perjanjian perkawinan juga dapat disebutkan bahwa tidak ada arta bersama sama sekali, melainkan harta suami tetap menjadi hartanya dan harta isteri juga tetap menjadi hartanya sendiri. Ketika akan dibagi, harta keduanya dipisahkan, dengan kata lain, tidak ada harta gono-gini sama sekali.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan wanita, yang saling mencintai dan menyayangi. Sudah menjadi kebutuhan hidup mendasar, bila setiap insan akan menikah. Umumnya, setiap orang berniat untuk menikah sekali seumur hidupnya saja. Tidak berniat terbesit bila di kemudian hari harus bercerai, lalu menikah lagi dengan orang lain, atau memilih untuk tetap sendiri.
Namun pada kenyataannya justru bukan demikian. Tidak sedikit pasangan suami-istri, yang akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan hidup, paling tidak menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian. Memilih bercerai, berarti harus berhadapan dengan pengadilan. Sebab proses pengaduan gugatan perceraian yang sah menurut hukum, hanya dapat ditempuh melalui pengadilan saja. Persoalannya kemudian adalah banyak pasangan suami-isteri yang justru bingung sekaligus kesulitan, saat menempuh jalan proses Perceraian tersebut. Faktor utamanya tentu soal hukum. Ditambah lagi proses pengajuan gugatan perceraian, yang memang pada dasarnya berbelit-belit. Bahkan tidak jarang, bila proses perceraian yang rumit menguras banyak dana.
Dalam
mengajukan gugatan perceraian, alasan memilih bercerai menjadi pertimbangan penting
bagi pengadilan untuk menindaklanjuti gugatan cerai tersebut. Karena itu
penggugat harus memilih alasan bercerai yang dibenarkan dan sah menurut hukum.
Di lain sisi, alasan bercerai juga menjadi pertimbangan atau tolak ukur bagi
pengadilan dalam memutuskan sejumlah persoalan lain yang terkait erat dengan
proses perceraian itu sendiri. Misalnya pembuatan hak asuh anak, kebutuhan perkembangan
mental anak, tuntutan permohonan nafkah,
serta persengketaan harta gono-gini. Semuanya merupakan satu kesatuan proses
hukum yang harus dijalani secara utuh. Serta membutuhkan strategi, demi menghindarkan
kesalahan dalam mengambil langkah dan keputusan. Kecerobohan yang berangkat
dari ketidaktahuan soal proses hukum, serta ketiadaan strategi dalam melakukan
proses gugatan cerai, akan berpotensi menimbulkan kerugian fisik, mental maupun
finansial. Perbincangan keputusan harta gono-gini tabu di mata masyarakat. rupanya
masyarakat masih memandang sebelah mata masalah ini. Pasangan suami isteri
biasanya baru mempersoalkan pembagian harta gono-gini setelah adanya putusan
perceraian dari pengadilan. Bahkan dalam setiap proses pengadilan sering
terjadi keributan tentang pembagian harta gono-gini sehingga kondisi itu semakin
memperumit proses perceraian di antara mereka karena masing-masing mengklaim
bahwa harta “ini dan itu” merupakan bagian atau haknya. Sengketa harta gono-gini
ini tidak dipikirkan oleh para calon pengantin yang akan menikah. Mereka hanya berpikir
bahwa menikah itu untuk selamanya. Artinya, tidak berpikir sedikit pun oleh
mereka bahwa suatu saat nanti perceraian itu mungkin saja terjadi. Mereka baru
berpikir tentang harta gono-gini pada saat proses atau setelah terjadinya
perceraian.
Untuk itulah perbincangan mengenai harta gono-gini ini perlu diangkat dalam wacana publik. Masyarakat memerlukan pengetahuan yang memadai tentang masalah ini yang justru akan membuka cakrawala pengetahuan kita, bahwa harta gono-gini itu perlu diketahui sejak awal perkawinan sepasang calon penganti. Persoalan mengenai harta gono-gini ini sering menjadi isu hangat di masyarakat kita. Yang pada akhirnya menyita perhatian media, terutama pemberitaan perceraian di antara sejumlah artis sampai pada perselisihan tentang pembagian harta gono-gini. Kasuskasus perceraian mengenai pembagian harta gono-gini di kalangan artis atau pejabat sering di-blow up oleh media masa.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah
pembagian harta gono-gini atau harta bersama setelah terjadi perceraian?
2.
Seberapa
pentingnya perjanjian perkawinan terhadap harta gono-gini atau harta bersama?
C. METODE PENELITIAN
Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian harta gono-gini atau harta bersama setelah perceraian.
PEMBAHASAN
A. Pembagian Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama Setelah Perceraian
Harta gono-gini adalah harta benda
yang dihasilkan oleh suami istri selama masa
perkawinan mereka. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah setelah tahun 1974 diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Harta gono-gini menjadi milik bersama suami istri itu, walaupun yang bekerja hanya suai atau istri saja. Tentang sejak kapan terbentuknya harta gono-gini, ditentukan menurut rasa keadilan masingmasing pihak, namun secara umum ditentukan menurut kewajaran, bukan waktu.
Pembagian harta gono-gini bagusnya dilakukan secara adil, sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami dan mana hak isteri.
Menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati
menjelaskan bahwa cara mendapatkan harta
bersama, sebagai berikut
:
a. Pembagian harta bersama dapat diajukan
bersamaan dengan saat mengajukan gugat
cerai
dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti bahwa harta tersebut diperoleh
selama perkawinan dalam “Potista” (Alasan mengajukan gugatan).
Permintaan
pembagian harta disebutkan dalam petitum (gugatan).
b.
Pembagian
harta bersama diajukan setelah adanya putusan perceraian, artinya mengajukan gugatan
atas harta bersama.
Bagi yang
beragama Islam gugatan atas harta bersama diajukan ke pengadilan agama di
wilayah tempat tinggal isteri. Untuk non-Islam gugatan pembagian harta bersama
diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal termohon.
Harta bersama baru dapat dibagi bila putusnya
hubungan perkawinan karena kematian mempunyai ketentuan hukum yang pasti sejak
saat kematian salah satu pihak, formal mulai saat itu harta bersama sudah boleh
dibagi. Apabila keputusan hakim yang menentukan putusnya hubungan perkawinan belum
mempunyai kekuatan pasti, maka harta bersama antara suami dan isteri itu belum dapat
dibagi.
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI tertanggal 9 Oktober 1968 Nomor 89K/Sip/19689 , selama seorang janda tidak kawin
lagi dan selama hidupnya harta bersama dipegang olehnya tidak dapat dibagi guna
menjamin penghidupannya. Dalam Pasal 156 Komplikasi Hukum Islam putusnya
perkawinan karena perceraian terhadap harta bersama adalah harta bersama
tersebut dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 97 yang
memuat ketentuan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Ketentuan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam Pasal 97 dan selaras dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu cara pembagiannya biasanya adalah dengan membagi rata, masing-masing (suami-isteri) mendapat setengah bagian dari harta gono-gini tersebut. Harta bersama ini tidak dapat
disamakan dengan harta warisan, karena
harta warisan adalah harta bawaan, bukanlah harta bersama. Oleh sebab itu,
harta warisan tidak dapat dibagi dalam pembagian harta gono-gini sebagai akibat
perceraian. Hal inilah yang menjadi pegangan pengadilan agama dalam memutus
pembagian harta gono-gini tersebut.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, kewenangan mengadili sengketa harta bersama bagi
orang yang beragama Islam mulanya merupakan sesuatu hal yang dipermasalahkan.
Hal ini disebabkan karena Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang tersebut tidak
menunjuk secara tegas bahwa sengketa harta bersama bagi orang yang beragama
islma diselesaikan melalui peradilan agama.
Walaupun sebenarnya telah memberi sinyal kewenangan kepada peradilan agama untuk menyelesaikannya. Hal ini terlihat pada Pasal 37 tersebut : “Bila Perkawinan terputus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Pasal ini seharusnya ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga apabila orang yang bersengketa itu beragama Kristen maka diselesaikan menurut hukum mereka, begitu pula jika yang bersengketa itu beragama Islam, maka diselesaikan menurut hukum Islam. Tetapi, oleh karena sengketa harta bersama masih dianggap termasuk dalam lembaga hukum adat, maka kewenangan itu tetap berada di pengadilan negeri, sekalipun yang bersengketa itu orang beragama Islam. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada 29 Desember 1989, melalui Pasal 49 dan penjelasan Ayat (2) angka (10) ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah penyelesaian “harta bersama”.
Undang-Undang tentang Peradilan Agama tersebut
tidak memformulasi harta bersama
secara spesifik, oleh karena itu untuk formula harta bersama harus dilihat ketentuan Pasal, 35, 36, dan 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa yang termasuk harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
Ketentuan mengenai pembagian dan besar
porsi perolehan masing-masing suami isteri dari harta bersama apabila terjadi
perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, atau suami isteri hilang, kita
jumpai di dalam ketentuan Pasal 96 dan Pasal 97 Komplikasi Hukum Islam. Pasal
96 berbunyi: “1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan hidup lebih lama; 2). pembagian harta bersama bagi seorang suami
atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar Putusan
Pengadilan Agama
Pasal
97 berbunyi : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Pasal-Pasal di atas menegaskan bahwa pembagian harta bersama antara suami dan
isteri yang cerai hidup maupun cerai mati, atau karena salah satunya hilang,
masing-masing mereka mendapat seperdua atau setengah harta bersama. Tidak
diperhitungkan siapa yang bekerja, dan atas nama siapa harta bersama itu
terdaftar. Selama harta benda itu diperoleh selama dalam masa perkawinan sesuai
dengan Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan, maka harta yang
diperoleh tersebut merupakan harta bersama, dan dibagi dua antara suami dan
isteri.
Ketentuan Pasal-Pasal di atas telah
menggeser secara tegas ketentuan pembagian harta bersama yang berlaku pada
masyarakat adat di Indonesia seperti pada masyarakat adat Aceh dan masyarakat
ada di Jawa tersebut di atas. Mahkamah Agung telah mendukung ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 96 dan Pasal 97 Komplikasi Hukum Islam tentang pembagian
harta bersama serta besaran perolehan masing-masing suami-isteri dengan
putusan-putusannya.
Jika salah satu meninggal terlebih
dahulu lazimnya harta gono-gini berada di bawah penguasaan dan pengelolaan
salah satu yang hidup, sebagaimana halnya saat masa perkawinan. Pihak yang
masih hidup berhak menggunakan harta milik bersama itu untuk keperluan hidupnya
serta anak-anak yang masih kecil, tetapi jika keperluan hidupnya sudah cukup
diambilkan harta bersama itu, maka sebagian lain selayaknya almarhum setelah
dikurangi hutang-hutang.14 Jika ada anak, maka harta bersama itu diwariskan kepada
anak sebagai harta asal mereka. Jika yang meninggal terlebih dahulu itu suami,
maka selama janda belum kawin lagi, barang-barang harta gono-gini yang
tertinggal padanya itu tetap tidak dibagi-bagi, guna menjamin kehidupannya
demikianlah putusan Mahkamah Agung Reg. No. 189 K/Sio./1959, tanggal 8 Juli 1959
yang mengatakan bahwa selama janda belum kawin lagi, harta bersama tetap
dikuasai janda guna keperluan hidupnya. Sedangkan jika tidak ada anak, maka
sesudah yang hidup lebih lama lagi tadi itu (janda atau duda), maka harta
tersebut wajib secara hukum dibagikan kepada kerabat suami dan isteri dengan
jumlah yang sama besar sebesar bagian suami isteri itu jika mereka masih hidup,
atau jika pantas maka yang sudah berkecukupan mengalah dan diberikan kepada
yang berkekurangan berdasarkan asas kepantasan dan kelayakan.
Pembagian harta gono-gini ini tidak
dapat digugat oleh sembagarang ahli waris apalagi orang lain. Menurut putusan
Mahkamah Agung Reg. No. 258 K/Sip./1959, tanggal 8 Agustus 1959 bahwa pembagian
gono-gini tidak dapat dituntut oleh orang lain dari pada anak atau isteri atau
suami dari yang meninggalkan gonogini. Dalam Undang-Undang Perkawinan, pengaturan
harta bersama tersebut belum memperoleh penyelesaian yang tuntas. Pasal 37
menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud rumusan “hukumnya
masing-masing: adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
B. Pentingnya
Perjanjian Perkawinan Terhadap Harta Gono-Gini Atau Harta Bersama
Perjanjian perkawinan diperlukan untuk
mempermudah dalam memisahkan mana yang merupakan harta bersama dan mana yang bukan
agar jika terjadi perceraian, pembagian harta gono-gininya dapat dengan mudah diselesaikan.
Dengan jalan ini, perselisihan antar mantan suami isteri yang bercerai tidak perlu
berkepanjangan. Apalagi mereka harus memecahkan persoalan-persoalan lain yang berkenaan
dengan pemutusan hubungan perkawinan mereka. Untuk itulah, perjanjian perkawinan
tetap penting dan bermanfaat bagi siapa saja, tidak memandang harta, jabatan, atau
kekuasaan.
Perjanjian perkawinan dibuat untuk melindungi
secara hukum harta bawaan masing-masing pihak suami isteri. Artinya perkawinan
dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah rumah
tangga yang terpaksa harus berakhir, baik karena perceraian maupun kematian. Dengan
adanya perjanjian perkawinan, maka akan jelas dibedakan mana yang merupakan harta
gono-gini yang perlu dibagi dua secara merata.
Perjanjian perkawinan juga berguna
untuk mengamankan aset dan kondisi ekonomi keluarga. Jika suatu saat terjadi
penyitaan terhadap seluruh aset keluarga karena bisnis
bangkrut, dengan adanya perjanjian Perkawinan “sekoci” ekonomi keluarga akan bisa aman. Ketika hendak membuat perjanjian perkawinan, pasangan calon pengantin biasanya memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya membentuk sebuah rumah tangga saja, namun ada sisi lain yang harus dimasukkan dalam poin-poin perjanjian. Tujuannya, tidak lain agar kepentingan mereka tetap terjaga. Perjanjian perkawinan juga sangat bermanfaat bagi kaum perempuan. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka hak-hak dan keadilan kaum perempuan (isteri) dapat terlindungi. Perjanjian perkawinan dapat dijadikan pegangan agar suami tidak memonopoli harta gono-gini dan harta kekayaan pribadi isterinya. Disamping itu, dari sudut pemberdayaan perempuan, perjanjian tersebut bisa menjadi alat perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perjanjian perkawinan memang tidak diharuskan.
Hanya banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga diserta
adanya perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Pemikiran tentang perlu atau
tidaknya perjanjian perkawinan itu biasanya didasarkan atas kesepakatan antara
calon suami dan calon isteri yang akan berumah tangga. Jika salah satu dari
mereka tidak setuju, hal itu tidak bisa dipaksakan. Disebabkan sifatnya yang
tidak wajib, tidak adanya perjanjian perkawinan tidak lantas menggugurkan
status perkawinan mereka. Perbuatan perjanjian perkawinan lebih didorong karena
adanya kemungkinan hak-hak dari pihak yang terganggu jika perkawinan mereka
dilangsungkan.
Perjanjian perkawinan (prenuptial agreement) biasanya berupa perjanjian antara calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan dengan ketentuan mereka sepakat untuk mengadakan perjanjian pisah harta, yaitu harta yang mereka miliki bukan harta gono-gini, namun menjadi harta pribadi masing-masing. Meskipun demikian, isi perjanjian itu sesungguhnya tidak hanya memuat ketentuan itu.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku
dalam hukum positif misalnya KUHPerdata, kedua calon suami isteri diberikan
kebebasan untuk menentukan isi perjanjian perkawinan asalkan sesuai dengan
kehendak dan kepentingan mereka, dan juga tidak bertentangan dengan tata
susila, tata hukum, tata agama, dan tata tertib masyarakat, maka dapat
dikatakan bahwa isi perjanjian perkawinan adalah beragam.
1.
Pemisahan
harta kekayaan murni
Kedua belah pihak bersepakat untuk memisahkan segala macam harta, utang, dan penghasilan yang mereka peroleh, baik sebelum perkawinan maupun sesudahya. Jika terjadi perceraian di antara mereka, tidak ada lagi pembagian harta gono-gini karena mereka telah memperjanjikan pemisahan harta, utang, dan penghasilan mereka selama masa perkawinan. Dalam model ini, biaya pendidikan dan kebutuhan anak menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga. Jika perjanjian perkawinan mengatur tentang pemisahan harta gono-gini, seorang suami tetap berkewajiban menafkahi isteri dan anak-anaknya, meskipun dalam perjanjian perkawinan telah ditetapkan pemisahan hartanya dengan harta isterinya.
2.
Pemisahan
harta bawaan
Bedanya dengan yang diatas, dalam isi perjanjian
ini kedua belah pihak hanya saling memperjanjikan macam harta bawaan saja, yaitu
harta, utang, dan penghasilan yang mereka dapat sebelum perkawinan. Artinya
jika nantinya mereka bercerai, yang dibagi adalah harta gono-gini saja, yaitu
harta yang dihasilkan selama perkawinan menjadi hak masing-masing pasangan.
3. Persatuan harta kekayaan
Perjanjian perkawinan juga bisa memuat
ketentuan tentang percampuran harta kekayaan menurut ketantuan Pasal 49 Ayat
(1) Komplikasi Hukum Islam, pasangan calon suami isteri dapat memperjanjikan
percampuran harta kekayaan mereka, baik yang mencakup harta gono-gini, harta
bawaan, harta perolehan. Meskipun demikian, perjanjian perkawinan tentang
percampuran harta kekayaan juga bisa mencakup harta gono-gini saja, tidak
mencakup dua macam harta lainnya.
Suami isteri dapat memperjanjikan ketentuan bahwa meskipun mereka telah memberlakukan persatuan kekayaan, namun tanpa persetujuan isteri, suami tidak dapat memindahtangankan atau membebani barangbarang tidak bergerak milik isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum, surat berharga lainnya, dan piutang-piutang atas nama isteri. Isi perjanjian perkawinan sebenarnya tidak hanya berupa ketentuan tentang pemisahan atau persatuan harta kekayaan pasangan suami isteri, tetapi juga berisi hal-hal lain di luar masalah harta benda perkawinan. Perjanjian perkawinan juga dapat mencantumkan poinpoin lain di luar masalah harta benda, asalkan isinya dapat disepakati oleh masing-masing pasangan calon pengantin. Perjanjian perkawinan itu bisa mencakup persoalan poligami, mahar, perceraian, dan kesempatan isteri untuk menempuh pendidikan lebih lanjut. Atau isinya juga bisa perihal larangan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seperti yang pernah dilakukan artis Rieke Diah Pitaloka dengan suaminya. Dengan demikian perjanjian perkawinan tidak semata-mata persoalan mengatur harta suami isteri.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Apabila
perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama atau harta
gono-gini diatur menurut hukumnya
masing-masing. Tentang besaran bagian masing-masing suami/isteri atas harta
bersama jika terjadi perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur.
2. Pentingnya
perjanjian perkawinan dibuat agar supaya membatasi atau meniadakan sama sekali
kebersamaan harta kekayaan menurut undang-undang perkawinan. Artinya
bebersamaan harta benda suami isteri itu sifatnya terbatas, yaitu hanya
berkenaan dengan harta gono-gini saja. Atau perjanjian perkawinan juga dapat
disebutkan bahwa tidak ada harta bersama sama sekali, melainkan harta suami
tetap menjadi hartanya dan harta isteri juga tetap menjadi hartanya sendiri.
Ketika akan dibagi, harta keduanya dipisahkan, engan kata lain, tidak ada harta
gono-gini sama sekali.
B. SARAN
1. Sebaiknya
Pemerintah harus merevisi Undang-Undang Perkawinan yang ada di Indonesia,
terutama terhadap Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
agar supaya terdapat kepastian hukum dan kejelasan mengenai pembagian harta
gono-gini, agar tidak terdapat tumpang tindih di dalamnya.
2.
Perlu
disosialisasikan lebih lanjut kepada masyarakat mengenai pentingnya perjanjian
perkawinan diadakan atau dibuat sebelum kedua calon pasangan suami isteri, agar
supaya dikemudian hari dapat mengantisipasi jika terjadi permasalahan mengenai
pembagian harta gono-gini.
DAFTAR
PUSTAKA
1. LITERATUR
· Ali
Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta,
Jakarta, 1977.
· Bahari,
Adib, Tata Cara Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono-Gini, dan Hak Asuh Anak,
Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2016.
· Dja’is
Mochammad, Hukum Harta Kekayaan dalam
Perkawinan, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Diponegoro, Semarang.
· H.
M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah Masalah Krusial, Cetakan
Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
· Hadikusuma,
Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007.
· Harahap,
M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005.
· Hartanto,
J. Andi, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut Wetboek dan Undang-undang
Perkawinan, Cetakan Kedua, Lasbang Grafika, Yogyakarta, 2012.
· Ibrahim,
Johnny, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Pertama, Bayumedia
Publishing, Malang-Jawa
· Prodjodikoro,
Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, cetakan Keenam, Sumur,Bandung, 1974.
· Rato,
Dominikus, Hukum Perkawinan dan Waris Adat di Indonesia (Sistem Kekerabatan,
Perkawinan dan Pewarisan Menurut Hukum Adat), Laksbang Pressindo, Yogyakarta,
2015.
· Saifuddin,Muhammad
dkk,Hukum Perceraian, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,Jakarta, 2013.
· Satrio,
J, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
· Soekanto
dan Sri Mamudji, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, CV.Rajawali, Jakarta,
1983.
· Soemiati,
Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkwinan, Liberty, Yogyakarta, 1997.
· Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1985.
· Susanto,
Dedi, Kupas Tuntas Masalah Harta Gono-Gini, Cetakan Pertama, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2011.
· Susanto,
Happy, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Tejadi Perceraian, Cetakan kedua, Visi
Media, Jakarta, 2008.
· Susilo,
Budi, Prosedur Gugatan Cerai, Cetakan Ketiga, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2008.
· Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
· Bahasa
Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
· Wahyuningsih,
Erna, dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, PT. Rambang Palembang,
2006.
· Wignjodipoero,
Soerojo, Pengantar dan AsasAsas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1995.
2. SUMBER-SUMBER
LAIN
· Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
· Kompilasi Hukum Islam.
· Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
· Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
· Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 7 November 1956.
· Putusan Mahkamah Agung Nomor 13.K/Sip/1961/ tanggal 01 Februari 1961.
· Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tertanggal 9 Oktober 1968 Nomor 89K/Sip/1968.
· Yurisprudensi konstan Mahkamah Agung RI Nomor 803K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1970.
· Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 803K/Sip/1970 tanggal 5 Mei 1971.
BARANG SIAPA MENGAMALKAN INI DOSA BESAR SEKALIPUN ALLAH AMPUNI